‘Mitsaqon Ghalidzha’

~Janji Suci dan Agung~

Melihat judul di atas, mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, ada apa dengan si Cinta, Suci, dan Agung? Terlibat skandal segitigakah? bukan,,,bukan,, judul diatas bukan menceritakan tentang kisah cintanya Cinta, Suci dan Agung, tapi ‘Mitsaqon Ghalidzha’, kata yang dikutip dari Al-Qur’an yang artinya kurang lebih ‘Perjanjian yang Teguh’. Ada yang sudah bisa menebak, kemana arah pembicaraan (atau lebih tepatnya pengetikan?) kita? Yup, benar sekali! Pernikahan! Nah lho? Masih terang begini kok ngomongin pernikahan? Eitss,,, ilmu yang satu ini udah musti kudu dibaca-baca sejak jauh-jauh hari, biar ga salah jalan ntarnya, dari mulai awal-mulanya, bagaimana menujunya, caranya, detik-detik menjelang hari-Hnya, hingga pascanya! Karena untuk satu hal ini kita harus berfikir ulang kembali. Bayangkan, kita menghabiskan waktu dari mulai TK hingga universitas sekarang ini untuk merancang dan membekali karier kita di masa yang akan datang, namun untuk pendidikan pernikahan –yang ‘efek’nya hingga ke akhirat- sudah berapa banyak kita belajar? Nah, penasaran kan, apa sih yang diomongin dalam Mitsaqon Ghalidzha ini?

Tau nggak, ternyata dalam Al-Qur’an, istilah Mitsaqon Ghalidzha ini cuma ditulis tiga kali lho! Bagi yang ga percaya silakan baca ulang ampe tamat Al-Qur’an plus terjemahannya mulai dari sekarang! Yak, selesai! Ada berapa sodara-sodara? Tigaaaa,, Yap, betul sekali, cuma ada tiga! Dimana aja?

Pertama, pada Surah An-Nisaa ayat 154 : Dan Telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka Bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah kami ambil dari) mereka. Dan Kami perintahkan pada mereka : ‘Masuklah pintu gerbang itu sambil bersujud’, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka : ‘Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu’, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kukuh. (QS An-Nisaa [4] : 154)

Ayat kedua terdapat dalam Surah Al-Azhab ayat 7 : Dan (Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri) dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh. (QS Al-Azhab [33] : 7)

Ayat yang ketiga terdapat dalam Surah An-Nisaa ayat 21 : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS An-Nisaa [4] : 21)

Ada yang mulai ‘ngeh’ dari apa yang diungkapkan dalam tiga ayat tersebut? Ketiga ayat di atas nggak menerangkan hal yang sama lho. Dua ayat pertama membicarakan perjanjian para Nabi dengan Tuhannya (khusus ayat kedua sama 4 dari 5 Nabi ulul azmi malah! Apa lagi ulul azmi itu? Mereka adalah para Nabi yang punya ujian dalam mensyiarkan islam dengan tingkat kesabaran yang superrrr tinggi! Nah lho, tambah ‘greng’ ga tuh? Dan siapa nabi ulul azmi yang ke-5? Ya jelas nabi Muhammad tentunya!), sedangkan ayat terakhir membicarakan perjanjian suami-istri. Allah SWT pasti ga main-main sampai meletakkan satu kalimat ampuh ini di tiga persoalan yang berbeda. Hal tersebut membuktikan bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sangat agung dan mulia, hingga disejajarkan dengan perjanjian suci para Nabi! Jadi dengan kata lain, dalam pernikahan, terdapat amanah dan tanggung jawab besar sebagaimana amanah yang diemban para utusan Allah! Subhanallah, beratnya,,(jadi deg-degan,,)

Mitsaqon Ghalizha tidak serta-merta langsung terpatri setelah pernikahan lho, ada tahap di dalamnya. Dalam Al-Qur’an ada dua ungkapan yang secara khusus ditujukan kepada pasangan yang terikat oleh tali pernikahan. Pertama itu ‘udqah an-Nikah yang berarti ‘ikatan nikah’, habis itu baru deh si Mitsaqon Ghalidzha. Bedanya? Bisa dilihat dari apa yang sudah dilakukan en jika terjadi perceraian. Sesaat setelah ijab-qabul dikumandangkan, masuklah pada tahap ‘udqah an-Nikah yang menunjukkan bahwa sesungguhnya kita telah mulai memasuki suatu kehidupan baru yang mengikat kita dalam komitmen hukum. Ikatan ini telah menyatukan kita secara lahir dan batin en udah dihalalkan untuk berhubungan suami istri nantinya. Namun jika belum meningkatkan hubungan pada hubungan suami istri lalu terjadi perceraian, ada dua ketentuan, pertama jika mahar atau mas kawin belum ditentukan ketika ijab qabul, maka ga ada ketentuan buat si suami buat ngasih mahar ke (calon mantan) istri. Kedua, jika mahar udah ditentukan, si (calon mantan) istri berhak atas seperdua maharnya. Tahap pertama ini diterangkan Al-Qur’an pada surah Al-Baqarah ayat 235-237, yaitu : ”Dan tidak ada dosa bagi kamu untuk meminang wanita-wanita itu (janda) dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya. Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dn ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demilian ini merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentuka maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentuka itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antra kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah : 235-237)

Nah, jika sudah terjadi hubungan suami istri masuklah kita ke dalam tahap mitsaqon Ghalidzha yang berarti perjanjian teguh itu. Hukumnya ketika terjadi perceraian adalah mahar mutlak menjadi hak si (calon mantan) istri dan (calon mantan) suami ga bisa mengambilnya kembali.

Eiiits, tapi jangan ciut en jadi mikir 1000x buat nikah setelah baca tulisan ini! Kan tulisan ini dibuat untuk mengingatkan kita-kita (‘kita’ lho ya, karena yang nulis ni artikelpun belom nikah ;-P) tentang betapa Allah sangat meninggikan derajat pernikahan dan tentu saja mereka yang memutuskan menikah karena mengikuti sunnah Rasul-Nya! Pernah denger kan kalo nikah itu menggenapkan separo agama? Nah untuk tujuan yang mulia ini, jalan yang ditempuh untuk menuju sampai kesanapun harus mulia n suci juga! Salah satu caranya, untuk yang laki-laki mungkin harus berfikir ulang bagaimana cara terbaik untuk melindungi dan menjaga izzah (kehormatan) teman-temannya yang perempuan, dan untuk yang perempuan mungkin harus berfikir ulang bagaimana dan apa yang harus dilakukan agar menjadi perempuan yang dihormati oleh kaum laki-laki dan bisa menjaga izzah (kehormatan) diri. Sekarang saatnya kita berfikir dan mengaku pada diri sendiri sejujur-jujurnya, apa jalan yang kita tempuh untuk memperjuangkan si Mitsaqon Ghalidzha ini udah merupakan jalan yang terbaik, suci dan diridhoi menurut Allah n Rasul-Nya? (hayoo..bukan menurut kita sebagai manusia lho ya, ayo kita buang ego-keinginan-nafsu pribadi disini..) Jika dirasa belum, yuk kita sama-sama bermuhasabah (bercermin diri), memperbaiki diri sambil terus mencari jalan seperti apa yang diridhoi-Nya untuk menuju si Mitsaqon Ghalidzha ini, juga mulai belajar lebih lanjut dan membekali diri dengan ilmu untuk nantinya mengelola pernikahan, karena pernikahan itu bukanlah akhir, namun merupakan awal baru, dimana pasti akan datang masalah-masalah yang kalau kita ga tau ilmunya, ga bisa mengelola emosi, dan ga bisa mengkomunikasikannya dengan pasangan kita malah nantinya jadi UUC (ujung-ujungnya cerai) kayak para artis itu,, Ga mau kan melalukan sesuatu yang halal tapi jadinya dibenci oleh Allah yaitu bercerai itu? Makanya, yuk, sama-sama mulai belajar!

(Sumber : Al-Qur’anul Karim, Awas, Illegal Wedding, Dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan, Nurul Huda Haem, Penerbit Hikmah 2007 ; Muhasabah Cinta Seorang Istri, Asma Nadia dkk, Lingkar Pena Publishing House & AsmaNadia Publishing House 2009)

Leave a comment